Dinginnya malam tak menyurutkan keinginannya untuk tetap merebahkan tubuh di atas hamparan rerumputan. Berselimutkan hembusan angin malam yang semakin menusuk hingga ke tulang rusuk. Pandangan mata jernihnya menyapu hamparan luas di atasnya. Bola matanya berputar mencari sesuatu. Atau tepatnya menunggu hadirnya sesuatu. Sesuatu yang begitu ia kagumi. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya lupa sejenak dengan penatnya kehidupan. Pahitnya kenyataan di dunia yang tak dapat ia hindari. Damai... Hanya itu yang ia rasakan saat memandang bulan. Namun sudah 2 hari ini ia tak menemukan sesosok yang begitu ia inginkan untuk hadir.
Terlihat dari sorot matanya, setitik harapan perlahan memudar. Berubah menjadi tatapan kosong. Ia mulai bermain dengan alam pikirannya. Terlihat dari raut mukanya, ia merutuki diri.
"Mengapa aku tercipta sebagai Mentari? Mengapa bukan Bulan? Kenapa HARUS Mentari? Tak seorangpun dapat melihat sosok mentari. Hanya dapat merasakan panasnya. Sedangkan bentuknya, berusaha mendongakkan kepala sedikit saja untuk berusaha melihatnya, mata pedas. Dan akhirnya keluarlah air mata.
"Semakin terang suatu matahari, semakin panaslah ia. Semakin panas matahari, semakin malas orang keluar rumah, semakin panas bumi, semakin pecah tangis anak-anak, kepanasan. Tak seorangpun mengharap matahari. Lagipula, tak banyak orang mengetahui bahwa matahari adalah salah satu jenis bintang. Tapi mengapa banyak orang menyukai bintang? Tapi tidak dengan matahari? Padahal sebenarnya mereka sama. Hanya masalah jarak. Apakah mereka semua tidak pernah menyadari bahwa yang menjadi penerang setiap siang adalah matahari? Keberadaannya tak pernah dihargai. Adakah seseorang yang benar-benar bersyukur dengan adanya panas matahari? Dengan adanya teriknya matahari? Mungkinkah ada suatu ekspedisi menuju matahari? Belum pernah kutemukan. Konyol sekali bila ada seseorang mengadakan perjalanan ke matahari. Terbakar habislah orang bernasib sial itu. Satu hal lagi yang membuktikan bahwa mentari tak ingin ada seseorang berada di dekatnya. Seolah-olah ia menciptakan jarak. Jika seseorang atau sesuatu nekat mendatanginya, tak segan-segan ia menghancurkannya seketika. Ironis...
"Berbeda dengan bulan. Cahayanya tak menyilaukan. Tak berlebihan. Setiap orang dapat melihat wujudnya yang begitu indah. Terkadang, anak kecil pun bermain gembira di bawah sinar bulan. Sosoknya yang begitu indah, membuat banyak orang tenggelam dalam pesonanya. Keindahannya terurai dalam untaian kata dan nada. Adakah tangis anak kecil karena panasnya bulan? Mungkinkah ada seorang anak beranjak dewasa mengkhawatirkan kulit indahnya terbakar oleh sinar bulan?
"Aku begitu menginginkan bulan ada dalam diriku. Aku hanya ingin orang melihatku. Dalam kesederhanaanku. Memang bulan tak memberikan kehangatan secara langsung. Kehangatan yang tercipta menyeruak begitu saja di dalam hati. Dan kurasa itu jauh lebih berarti. Bulan... Hanya ia yang kuharapkan dalam diriku. Aku ingin menjadi Bulan... Bukan Mentari..."
Huh...
Harapan dan angan-angannya untuk menjadi Bulan semakin berkobar. Seandainya ia tahu. Aku disini berharap menjadi Mentari. Bukan... Aku bukan Bulan. Aku bukanlah siapa-siapa. Ia menjadi keinginanku untuk menjadi Mentari. Jika Mentari begitu ingin menjadi Bulan, semakin besar keinginanku untuk menggantikannya sebagai Mentari. Mentari membuat segalanya yang gelap menjadi terang benderang. Menggantikan malam yang dingin menjadi pagi yang hangat. Membuat ayam berkokok membangunkan semua orang dari tidurnya. Jika tiada mentari, ayam tak mungkin berkokok, dan semua orang akan terlelap dalam tidur panjangnya. Mentari pulalah yang membuat semua tumbuhan bekerja memproduksi bahan makanan melalui proses fotosintesis. Dan semua itu untuk manusia dan makhluk di bumi ini. Walaupun orang tak menyadari begitu besar kehadiranku di tengah-tengah mereka, aku tetap menjalankan tugasku sesuai dengan yang telah ditakdirkan. Dan bukankah cahaya bulan yang indah merupakan pantulan dari sinar mentari? Itulah alasan utamaku. Aku ingin membuatnya berarti. Aku ingin membuatnya merasa ada dan bangga akan dirinya sendiri.
Hanya itu...
Karena dia...
Karena aku menginginkannya selalu tersenyum...
Bahagia...
Aku ingin yang terbaik untuknya...
Sunday, June 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment